Kamis, 28 Mei 2015

Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Di Indonesia, pelaksanaan hukum fiqih islam diwakili oleh beberapa intitusi. Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa, disamping itu ormas-ormas islam seperti muhammadiyah, nahdatul ulama’(NU) pesatuan islam (persis), dan yang lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasikan pendapat organisasi yang terjadi di masyarakat.

Pada pembahasan ini kita akan membahas tentang kedua ormas, yaitu muhammadiyah dan Nahdatul Ulama’ mengenai metode ijtihad bahsul masail dan majelis tarjih muhammadiyah.

B.     Rumusan Masalah

Dari urain diatas dapat ditarik beberapa masalah :

Ø  Seperti apa metodologi dalam kedua opmas tersebut ?

Ø  Seperti apa pandangan mereka dalam hal penafsiran haits ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    METODE IJTIHAD BAHTSUL MASAIL NU

Sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdatul Ulama (NU), ditetapkan dalammusyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama di Bandar Lampung pada tanggal 21-25 Januari 1992 dan bertepatan dengan tanggal 16-20 Rajab 1412H.

            Secara garis besar, metode pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan oleh NU dibedakan menjadi dua bagian: ketentuan umum dan sistem pengambilan keputusan hukum serta petunjuk pelaksana. 

            Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai beberapa istilah teknis dan penegasan keberpihakan dan pembelaan NU terhadap ulama sebagai produsen kitab-kitab kuning.

            Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai al-kutub al-mu’tabarat (kitab standar pen). Dalam keputusan tersebut tidak terdapat rincian mengenai kitab standar. Akan tetapi, dalam keputusan tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kutub al-mu’tabarat adalah kitab-kitab yang sesuai dengan aqidah Ahl al sunnat wal jama’at.

            Setelah penjelasan mengenai al-kutub al-mu’tabarat, penjelasan berikutnya merupakan rumusan mengenai cara-cara bermadzhab atau mengikuti aliran hukum (fikih) dan aqidah (keyakinan) tertentu. Aliran fikih dapat diikuti dengan dua cara: pertama, bermadzhab secara qawli, yaitu mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup aliran atau madzhab tertentu;dan kedua, bermadzhab secara manhaji, yaitu dengan mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Disamping itu, dibedakan pula pendapat antara imam pendiri madzhab dengan ulama yang mengikuti madzhab tertentu. Umpamanya Imam Al-Syafi’i adalah pendiri aliran Syafi’iah; dan Imam Al-Ghazali adalah ulama yang mengikuti aliran Syafi’i. Pendapat imam madzhab disebut Qawl; sedangkan pendapat ulama madzhab disebut wajah (al-wajh).

            Apabila ulama berbeda pendapat tentang hukum tertentu, ulama sesudahnya dapat melakukan taqrir jama’iy, yaitu upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu antara beberapa qawl atau wajah

            Alat bantu istinbath hukum mengeluarkan hukum syarat dari dalilnya adalah kaidah-kaidah ushuliah dan kaidah-kaidah fikih; dan salah satu cara yang digunakan dalam berijtihad adalah ilhaq yaitu persamaan hukum suatu kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama terhadap masalah atau kasus yang serupa yang telah dijawab oleh ulama. Dengan kata lain, pendapat ulama yang sudah jadi menjadi pokok dan kasus atau masalah yang belum  ada rukunnya disebut cabang.

            Bagian kedua dari sistem pengambilan hukum di lingkungan NU adalah sistem pengambilan keputusan hukum. Dalam bagian awal dari sistem pengambilan hukum dikatakan bahwa keputusan bahtsul masa’il dibuat dalam bermadzhab kepada salah satu dari empat madzhab yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qawli. Oleh karena itu, prosedur pengambilan keputusan hukum adalah:

a.       Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar dan dalam kitab-kitab tersebut hanya terdapat satu qawl atau wajh, maka qawl atau wajh tersebut dapat digunakan sebagai jawaban atau keputusan.

b.      Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar ; akan tetapi dalam kitab-kitab tersebut terdapat beberapa qawl atau wajh, maka yang dilakukan adalah taqrir jama’i untuk menentukan pilihan salah satu qawl atau wajh. Prosedur pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan: pertama, mengambil pendapat yang lebih mashlahat atau yang lebih kuat; atau kedua, sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:

1.    Pendapat yang disepakati al-syakhani (Imam Nawawi dan Rafi’i)

2.    Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi saja.

3.    yang dipegangi oleh al-Rafi’i saja.

4.    Pendapat Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.

5.    Pendapat ulama yang terpandai.

6.    Pendapat ulama yang paling wara’

c.       Apabila masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya sama sekali dalam kitab-kitab standar baik qawl ataupun wajh, langkah yang dilakukan adalah ilhaqi yang dilakukan oleh ulama (ahli) secara jama’i (kolektif). Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilayh, wajh al-ilhaq.

d.      Apabila pertanyaan atau kasus tidak terdapat jawabannya sama sekali dalam kitab standar baik qawli maupun wajh dan tidak memungkinkan untuk melakukan ilhaq, maka langkah yang ditempuh adalah istinbath secara kolektif dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya.

Istinbath hukum,merupakan alternatif terakhir, yaitu ia dapat dilakukan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar sehingga tidak ada peluang untuk melaukan pemilihan pendapat dan tidak memungkinkan ulama untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan wajh al-ilhaq. Istinbath dilakukan secara jama’i dengan melakukan praktek atau aplikasi kaidah ushul dan kaidah fiqih.   

B.     MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

Majelis tarjih adalah suatu lembaga dalam muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan khususnya hukum bidang fiqih. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres muhammaiah XVII tahun 1928 di Yogyakarta, dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama.

Tugas Pokok Majelis Tarjih

Majelis tarjih hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang di perselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang lebih kuat dalilnya.

Tugas lajnah tarjih adalah sebagai berikut:

1.      Menyelidiki dan memahami ilmu agama islam  untuk memperoleh kemurniannya.

2.      Menyusun tuntunan akidah, ahlak, ibadah dan mu’amalah dunyawiyyah.

3.      Member fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun tarjih sendiri memandang perlu.

4.      Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan kearah yang lebih maslahat.

5.      Mempetinggi mutu ulama’

6.      Hal-hal lain dalam keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan pesyarikatan.

METODE IJTIHAD MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa ijtihad hanyalah metode penetapan hukum. Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli usul fiqih terdahulu. Tehnik ijtihad engan landasan hukum yang digunakan yaitu, Al qur’an, sunah, ijma’, qiyas,istihsan,al-Urf, istislah atau maslahatul mursalah. Semua metode ini digunakan namun yang lebih diutamakan atau yang lazim digunakan  adalah kemaslahatan umat,  sebab menurut muhamadiah kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan.

Metode Ijtihad

Ø  Bayani (semantik)  Metode istimbat hukum dengan kajian kebahasaan

Ø  Ta’lili (rasional) metode istimbat hukum dengan kajian berfikir logis (nalar)

Ø  Istislahi (filosofi)  metode istimbat hukum dengan pendekatan kemaslahatan

Ruang lingkup ijtihad

Ø  Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil zhani

Ø  Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunah

Apabila terjadi pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda-beda (ta’arudh ala adillat) langkah-langkah yang ditempuh adalah:

1.      Al jamu ’wa al talfiq yaitu menerima semua dalil yang secara eksplisit terdapat pertentangan.

2.      Al Tarjih yaitu memilih dalil yang lebih kuat untuk diamlkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah

3.      Al naskh yaitu mengamalakn dalil yang munculnya lebih akhir

4.      Al tawqquf yaitu menghenikan penelitaian  terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.

Metode tarjih yang dilakukan oleh MT PPI dengan memperhatikan beberapa segi:

1.      Sanad ; tarjih terhadap sanad dilakukan dengan memeperhatikan :

a.       Kualitas dan kuantitas rawi

b.      Bentuk dan sifat periwayatan

c.       Sighat penerimaan dan pemberian hadis

2.      Matan; tarjih terhadap sanad dilakukan dengan memeperhatikan:

a.       Matan yang mengguakan sighat cegahan (al nahyi) lebih diutamakan daripada matan yang menggunakan sighat perintah (al’amr)

b.      Matan yang menggunakan sighat khusus (al khas) lebih diutamakan atas matan yang digunakan sighat umum

3.      Materi hukum

4.      Eksternal

Prinsip-prinsip pengembangan pemikiran islam:

1.      Konserfasi (turats, al muhafadzah)

2.      Inofasi (al tahdisi)

3.      Kreasi (ibtikari)

Kerangka metodologi pengembangan pemikiran islam adalah dengan mengunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.

Pendekatan bayani adalah pendekata untuk memahami dan menganalisis teks bilaguna mendapatkan makna yang dikandungnya dengan menggunakan empat amcam bayan:

1.      Bayan al I’tibar yaitu penjelasan mengeni keadaan sesuatu yang meliputi al qiyas al -bayani dan al khabar yang besifat yakin

2.      Bayan al I’tikad yaitu  penjelasan mengenai keadaan sesuatu yang meliputi makna haqq mutasyabih dan batil

3.      Bayan al ibarat yaitu penjelasan mengenai keadaaan sesuatu yanag meliputi bayan zhair dan bayan bathin

4.      Bayan al kitab yaitu media untuk menukil pendapat-pendapat, yaitu kitab-kitab.

Pendapat burhani adalah pendekatan rasional argumentatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada kekuatan rasio melaluia instrument logika dan metode diskurif (bathiniy) dan pendekatan irfani adalah pemahaman yang bertumpu pada pengalaman bathin, al zhawq, qalb, wijdan, bashirat, dan intuisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa MT-PPI dan LBM NU, sama-sama memposisikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan hukum. LBM NU lebih memelihara warisan khazanah pemikiran tokoh-tokoh madzhab ahlusunah waljama’ah sementara MT-PPI Muhammadiyah lebih melihat kontektual kontemporer dalam memberikan putusan Tarjihnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Mubarak, Jaih, Metodologi Ijtihad Dalam Hukum Islam, Yogyakarta: UII Pers, 2002

Praja, S Juhaya (pengantar), Hukum Islam Di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Cet. 2, Bndung: Remaja Rosdkarya, 1994 

Jmil, Faturrahman, Haji, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah,Cet. 1, Jakarta: Logos Publishing House,1995

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar